Saya gunakan kesempatan diskusi sore
itu di serambi masjid untuk konfirmasi pada
Abu Muhammad, mengapa dia jarang
mendakwahkan tema zakat kepada peserta
pengajian atau jamaah Jumat. “Karena zakat
masalah tauhid. Jadi kalau tauhid ummat telah
baik dan bersih, maka secara otomatis
kesadasaran berzakat, infak, sedekah dan
menyerahkan hartanya untuk waqaf juga akan
tumbuh dengan baik juga,” katanya.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dia
melihat, yang mendasar dalam membina
s e o r a n g mu s l im-mu t t a q i n a d a l a h
membetulkan tauhidnya. Yakinkah seseorang
secara total pada tuhannya. Apakah
syahadatain yang telah diikrarkannya mampu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Itu pula masalah mendasar muslimin negeri
ini. Syahadat hanya diucapkan, tapi tak
diaktualkana, akibatnya zakat tak dibayar,
padahal status dia telah menjadi muzakki
(wajib zakat).
Seorang muslim-muttaqin yang
tauhidnya bersih, tak perlu lagi dimotivasi
supaya disiplin membayar zakat, menyantuni
fakir miskin, peduli terhadap penderitaan
ummat, dan melindungi harta anak yatim.
Imannya akan wujud dalam kehidupan pribadi
dan sos i a l . Hidupnya s epenuhnya
didedikasikan untuk ibadah mahdhah dan
ibadah sosial. “Zakat, bagian dari ibadah itu,”
k a t a A b u M u h a m m a d .
Dia menunjukkan bukti betapa
pengetahuan keislaman seseorang hampir tak
ada pengaruhnya terhadap kesadaran
berzakat. “Antum lihat saja, berapa lama
seseorang belajar agama yang dalam
kurikulum itu ada muatan zakat, sejak sekolah
dasar hingga pasca sarjana. Tapi ketika dia
sudah bekerja dan mendapatkan penghasilan
yang mencapai nishab, masih saja perlu
diundang untuk ikut sosialisasi zakat. Ini
aneh,” katanya.
Lebih parah lagi, cukup banyak sarjana
a g ama a t a u a l umn i d a y a h y a n g
mempersoalkan wajib tidaknya zakat
penghasilan. Entah apa yang dipelajari
bertahun-tahun di kampus dan dayah. Padahal
zakat di negeri ini telah menjadi hukum
positif. Telah menjadi UU dan Qanun (baca:
UU Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan zakat dan Qanun Aceh Nomor 10
tahun 2007 tentang Baitul Mal). “Semua ini
terjadi akibat tauhidnya belum beres,” tegas
Abu Muhammad.
Saya kembali ingin mendapat penegasan,
“Kalau begini kondisi ummat, Abu, bukankah
dalam dakwah, ceramah, khutbah dan pengajianpengajian
materi khutbah perlu diperbanyak
muatan zakat supaya kesadaran bisa lahir?” “Dari
kajian saya, materi tauhidlah yang mesti
diperbanyak,” tegasnya. Dia yakin benar, jika
tauhid telah baik, maka kesadaran mengamalkan
s y a r i a t I s l am k a f f a h a k a n l a h i r.
Ummat tak lagi mengamalkan Islam
sebagian-sebagian. “Kalau zakat saja yang
kita benahi, nanti akan muncul lagi
masalah lain, misalnya kaum sekuker yang
masih saja ingkar konsep daulah,” kata
Abu Muhammad.
Tauhid adalah masalah sentral. Zakat
bagian dari masalah itu. Jadi yang mesti
kita sosialisasikan adalah tema tauhid,
beriman yang sempurna kepada Allah Swt
dan rasul-Nya. Masalah berikutnya kata
Abu Muhammad, kita tak memiliki da'i
atau tenaga pengajar yang cukup untuk
menyampaikan tema tauhid ini. Justru
yang banyak di Aceh da'i peminat kajian
fikih. Untuk itu, dia merekomendasikan
D S I me n g a g e n d a k a n k e g i a t a n
“pembudayaan” kajian tauhid dalam
masyarakat.
Terima kasih Abu Muhammad. Anda
telah memberikan perspektif baru dalam
membangun kesadaran berzakat dan solusi
problem ummat. Gagasan Abu akan
menjadi inspirasi bagi amil zakat
profesional (baitulmal) dalam melakukan
sosialisasi zakat: bahwa sosialisasi juga
dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan tauhid, sebagai pelengkap
pendekatan fikih dan regulasi negara yang
d i l a k u k a n s e l a m a i n i .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar