S e k o l a h , P e n d i d i k a n , d a n
Pendidikan Alternatif (2)
Pendidikan bukanlah kegiatan
berupa pengisian pengetahuan ke dalam
kepala anak didik sebagaimana “banking
concept” Freire (1994) tegaskan, “… in
which the students are the depositories
and the teacher is the depositor” (“ …
dimana anak didik itu menjadi tempat
meletakkan sesuatu dan guru sebagai
orang yang meletakkannya”), namun
sebaliknya yang terpenting adalah anak
didik seharusnya “have the opportunity
to become collectors or cataloguers of
the things they store” (“mempunyai
kesempatan untuk menjadi orang yang
mengumpulkan atau memilah apa-apa
yang mereka simpan”, h. 53). Mengisi
kepala anak dengan berbagai macam
k o n s e p t a n p a m e m p e r h a t i k a n
kebutuhan dan ketertarikannya hanya
akan menjadikan proses pendidikan itu
menjemukan. Anak bukanlah robot yang
bisa disuruh ini dan itu sesuai dengan
keinginan kita.
Anak-anak juga
mempunyai kemauan dan ketertarikan
s e n d i r i u n t u k m e n g e m b a n g k a n
p e n d i d i k a n s e s u a i d e n g a n
kemampuannya.
Dewey (1897) dalam karyanya “My
Pedagogic Creed”, ketika menjelaskan
apakah pendidikan itu, dia beranggapan
bahwa, “educational process has two
sides – one psychological and one
sociological – and that neither can be
subordinated to the other or neglected
without evil results following” (“proses
pendidikan itu mempunyai dua sisi – satu
aspek psikologis dan satunya lagi aspek
sosiologis – dan keduanya tidak bisa
membawahi satu sama lain atau
disalahgunakan jika tidak mau hasil yang
jelek”, sebagaimana dikutip oleh
Provenzo, 2006, h. 23).
Lebih lanjut,
dalam nada yang sama, ketika
menjelaskan apakah sekolah itu, Dewey
meyakini bahwa, “education is a process
of living and not a preparation for future
living” (“pendidikan adalah sebuah
proses kehidupan dan bukan lah sebuah
persiapan untuk hidup di masa yang
akan datang”, h. 24). Oleh karena itu,
pelajaran dasar dari pendidikan
sebagaimana Dewey yakini adalah “…
not science, nor literature, nor history,
nor geography, but the child's own social
activities” (“…bukan ilmu pengetahuan
alam, bukan pula literature, sejarah atau
geografi, tetapi kegiatan-kegiatan sosial
si anak sendiri”, h. 26).
Pendidikan adalah proses seumur
hidup.
Filosofi pendidikan sepanjang
hayat ini haruslah “Melibatkan
pembelajar sebagai pelaku utama
dalam kegiatan belajar daripada hanya
menjadi penerima yang pasif,
meningkatkan kapasitasnya untuk
memainkan perannya yang disebutkan
tadi, mengarahkan kepada demokrasi
masyarakat, dan meningkatkan
kualitas hidup semua laki-laki dan
perempuan” (Cropley, 1979, h. 102).
Oleh karena itu, menurut UNESCO,
pendidikan seharusnya:
Last the whole life of each individual
(berlangsung sepanjang hayat
seseorang); lead to the systematic
acquisition, renewal, upgrading and
completion of knowledge, skills and
attitudes made necessary by the
constantly changing conditions in
w h i c h p e o p l e n o w l i v e
(mengarahkan kepada pencapaian
yang sistematik, pembaharuan,
peningkatan dan kelengkapan
pengetahuan, keahlian serta tingkah
l a k u ya n g d i p e r l u k a n o l e h
perubahan kondisi yang terusmenerus
dimana manusia hidup
sekarang); have as its ultimate goal
promotion of the self fulfillment of
each individual (memiliki tujuan
akhir tercapainya pemenuhan
kebutuhan diri setiap individu); be
dependent for its successful
implementation on people's
increasing ability and motivation to
engage in self directed learning
activities (berhubungan dengan
suksesnya pencapaian dalam hal
meningkatnya kemampuan dan
motivasi untuk melibatkan dirinya
dalam kegiatan belajar mandiri);
serta acknowledge the contribution
of all available educational
influences, including formal, non
formal and informal (mengakui
peran serta dari semua pengaruh
pendidikan yang ada, baik formal,
non formal dan informal).
(Cropley,
1979, h. 3)
Akhirnya, bagaimana hubungan
antara sekolah, pendidikan, dan
pendidikan alternatif itu? Secara
singkat, yang jelas bahwa proses
belajar itu tidak dibatasi dalam ruang
belajar di sekolah saja.
Lesch (2009) menggambarkan,
“… each keep expanding into
something larger, fueled only by the
curiosity of the learner” (“… setiap
pembelajar terus berkembang menjadi
sesuatu yang lebih besar, digerakkan
o le h ra s a ke inginta hua n da r i
pembelajar itu sendiri” h. 5). Lebih
lanjut, dia menyatakan bahwa tujuan
dari pendidikan itu adalah untuk
menghubungkan pelajar dengan
o r a n g - o r a n g d a n m a s y a r a k a t
sekitarnya. Gagal dalam hal tersebut
akan berdampak pada resiko yang
sangat serius yaitu gagalnya proses
belajar itu sendiri. (h. 54). Oleh karena
itu, memberikan pelajar itu ilmu yang
bermanfaat, informasi yang sesuai,
dan keahlian yang memadai akan
sangat diperlukan untuk suksesnya
hidup si pelajar tersebut di masa yang
akan datang. Sekolah sebenarnya
perlu di berdayakan kembali menjadi
pusat pembelajaran masyarakat. Tugas
sekolah itu bukan hanya untuk
m e n g a j a r k a n a n a k- a n a k i l m u
pengetahuan, akan tetapi juga untuk
melibatkan guru, pelajar, dan orang tua
dalam sebuah proses belajar yang
berkesinambungan (Nandika, 2007, h.
84).
Nah, dalam dunia modern ini,
institusi atau lembaga pendidikan yang
b i s a m e n j a wa b p e r m a s a l a h a n
masyarakat tersebut di atas adalah
pendidikan alternatif. Bahkan sering
para orang tua menggunakan
pendidikan alternatif sebagai “shadow
education” (pendidikan bayangan)
untuk menjamin kesuksesan anakanaknya
di sekolah (Buchmann,
Condron & Roscigno, 2010). Terkadang
dapat dikatakan juga bahwa model
pembelajaran tradisional masih
memainkan pengaruh yang bagus
dalam proses pendidikan (Pane &
Salmon, 2009). Kalau dibandingkan,
pada kenyataannya pelajar dari
pendidikan alternatif ini mempunyai
kecemasan yang kurang, gejala
depresi yang tidak seberapa, kepuasan
yang lebih akan hidupnya sekarang,
serta pencapaian akademis yang lebih
dibandingkan dengan pelajar dari
pendidikan normal di sekolah biasa
(Shankland et al., 2010).
Sinyeu (May 14, 2012/8:41 p.m.)