Selasa, 15 November 2011

Menuju Ke Arah Pengembangan Pendidikan Alternatif (Bagian Ketiga) Oleh: Ahmad Faizuddin, M.Ed

Sejarah Pendidikan Alternatif Bagaimana sejarahnyasehingga konsep pendidikan alternative itu muncul? Dalam edisi ini Penulis akan memaparkan beberapa pendapat para pakar pendidikan seperti Conley (2002),
Siegrist (2010), Buchori (1995), Badrundan Bastian (1999), danYulaelawati (2009) yang membuat kronologis dan kondisi pendidikan yang ada. Konsep pendidikan alternative itu telah muncul jauh hari, namun baru dikenal baik ketika sudah menjadi sebuah pilihan pendidikan yang patut dipertimbangkan oleh semua. Sejarah pendidikan alternative secara ringkas sebagaimana Conley (2002) gambarkan, “…era 1960an boleh dianggap sebagai periode inovasi; era 1970an adalah periode pengembangan; era 1980an adalah periode 'pergerakan', yang membawa ke periode pembentukan di tahun1990an; sementara abad 21 merupakan periode kompetisi, pilihan sekolah dan reprivatisasi” (h. 3). Konsep pendidikan alternative itu sendiri dapat dilacak ke tahun 1930an sebagaimana ajaran John Dewey (Siegrist, et al., 2010). Di Indonesia sendiri reformasi pendidikan tradisional dapat dikatakan dimulai di tahun 1950an dengan adanya program pemberantasan buta huruf dan kursus remedial pada malam hari setingkat Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama, dan Sekolah Lanjutan Tingkat A t a s ( B u c h o r i , 1 9 9 5 , h . 3 ) .Namun begitu, pendidikan alternatif di Indonesia tidak lah dikenal luas sebagai model pendidikan sampai akhir tahun 1990an seperti Bambang definisikan sebagai “Pendidikan yang pendekatannya lebih bersifat individual, memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik, orang tua atau keluarga dan pendidik, yang dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman” (Badrun & Bastian, 1999, h. 45). Lebih jauh lagi, kalau kita menelusuri praktek sejak abad-abad awal di Indonesia, kita dapat menemukan ide pendidikan di luar sekolah dalam
masyarakat masa itu. Indonesia baru mengenal yang namanya sekolah formal pada abad ke-16 yang diperkenalkan khususnya oleh orang Eropa, yaitu Portugis dan Spanyol yang memperkenalkan pendidikan Kristen, dilanjutkan oleh Belanda yang membuat sistim pendidikan kolonial. Pada akhirnya Jepanglah yang pertama sekali memberikan semangat untuk menggunakan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Sebelum abad pertama (masa tradisional), budaya tradisional yang ada lebih menitikberatkan kepada pemikiran intuitif
dimana pikiran diarahkan kehal-hal yang berhubungan dengan alam dengan segala mitosmitosnya. Memasuki abad pertama dan kedua, Budaya Hindu memperkenalkan ajaran-ajaran yang agak berbeda dengan membagi kelas-kelas sosial. Selanjutnya budaya Islam di abad ke-13 memperkenalkan kebebasan berpikir di tempat tempat yang dikenal dengan nama Dayah ( Y u l a e l a w a t i , 2 0 0 9 ) .

Rendah Tapi Mulia | Oleh : Adia Mirza

Bukankan  berada  di  posisi  yang tinggi itu sebuah kebanggaan? Dan berada di  tempat  rendah  itu  udik  dan  hina?Mungkin hal  itu  tidak sepenuhnya benar. Karena  saya  pernah  membaca  sebuah kisah  tentang  segumpal  salju  yang  rela turun  dari  puncak  sebuah  gunung,  dan menuju kebawah untuk melakukan sebuak pembuktian  terbalik. Ada  beberapa  butiran  salju  yang hinggap  pada  sebuah  batu  dan  batu  itu
sendiri berada di puncak tertinggi sebuah gunung. Mendapati  dirinya  berada  pada posisi  paling  tinggi  tersebut  mulai berimajinasi dalam dirinya. “Bukankah  aku  pantas  bangga  dan sombong  sekarang,  aku  yang  hanya segumpal  salju  tapi  berada  di  tempat setinggi  ini,  sedangkan  sejumlah  besar salju  yang  lain  berada  jauh  lebih  rendah dariku.” Sejurus  kemudian  ia mulai  berpikir dan berkata.  “Tapi,  ukuranku  sungguh  tidak sebanding  dengan  ketinggian  ini,  karena seperti hari – hari sebelumnya dengan mudah aku  melihat  apa  yang  dialami  teman  – temanku,  yang  hanya  dalam  beberapa  jam lenyap oleh sengatan matahari itu.   Ini terjadi karena mereka telah ditempatkan pada tempat yang  lebih  tinggi  dari  yang  seharusnya.
Aku berharap bisa melarikan diri dari kemarahan  sang  matahari,  menuruni lereng  gunung,  dan  menemukan  tempat yang  cocok dengan ukuranku yang kecil ini.” Dan kemudian  ia pun melemparkan dirinya  kebawah  dan  mulai  turun. Sementara  berguling  dan  meluncur  di lereng yang ditutupi salju, semakin dekat kebawah ukuran tubuhnya semakin besar pula.  Sehingga  saat  ia  menyelesaikan misinya  menuruni  bukit,  ia  mendapati dirinya  tidak  lebih  kecil  daripada  bukit yang menyangganya. Dan  itu merupakan salju terakhir musim panas yang dicairkan oleh matahari. Merupakan  pelajaran  berharga  apa yang diajarkan oleh segumpal salju diatas.
Kita  tidak  seharusnya  memaksakan  diri untuk  berada  di  tempat  yang  tidak seharusnya kita berada disana. Kita tidak perlu egois, mungkin ada orang lain yang lebih pantas berada pada posisi  tersebut, dan  ada  pula  tempat  yang  lebih  pantas untuk kita. Mungkin kisah ini bisa menjadi salah satu  parameter  kita  dalam  memilih pemimpin,  sehubungan  dengan  akan berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah ( p i l k a d a )   d i   A c e h .

Menjadi Tamu Allah| Oleh : Abrar, S.Pd

Menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun Islam yang ke lima wajib atas  tiap-tiap  insan  yang  telah  mampu  untuk  melaksanakannya terlepas dari kesiapan diri si  pelaksananya. Persepsi kita selama  ini barang  kali agak keliru. Pengertian mampu (istitha'ah)  diartikan hanya bagi mereka yang berharta atau  kaya.  Ini  kiranya  pengertian  yang  perlu  diluruskan.  Mampu  harus  diartikan  sebagai  adanya  kemauan,  kesadaran  dan  usaha  untuk  mengikuti  perintah  Allah  dengan  sebaik- baiknya  apapun  profesi  atau  kegiatan  yang  ditekuninya.  Apakah  sebagai  sopir,  tukang  sepatu, pedagang keliling, pedagang bakso/sate,  pedagang  sayur,  tukang  roti,  tukang ojek,  tukang  becak,  pengusaha,  pegawai  negeri, Angkatan  Bersenjata, polisi, penerbang, nakhoda, pejabat  negara  dan  lain  sebagainya,  setiap  pribadi  muslim  tidak bisa  lepas dari kewajiban untuk  berhaji.
Memperhatikan bahwa haji  itu bagian dari  Rukun  Islam  yang  lima, maka  ia merupakan  rukun yang harus dikerjakan oleh  setiap muslim,  apapun  dan  bagaimanapun  keadaan  rumah  tangganya.  Tidak  boleh  dari  awal  sudah  memvonis dirinya tidak mampu, dengan alasan  melihat keadaan hidupnya yang mungkin serba
kekurangan.  Allah  SWT  pasti  sudah  memperhitungkan keadaan umat Islam bahwa  ada yang dikategorikan miskin atau kekurangan  ketika  menetapkan  haji  sebagai  bagian  dari  rukun  Islam  yang wajib  bagi  setiap  umat  Islam

Di sisi lain, Menunaikan ibadah haji  bagi sebagian jama'ah merupakan sesuatu  yang  luar biasa   bagi yang pertama kali  melaksanakannya karena bagi si  jama'ah  akan  datang  dan  tiba  di  tempat  yang  paling mulia di bumi Allah, yaitu tempat  Na b i   Mu h amma d   me n y amp a i k a n   risalahnya dan tempat bagi Nabi Ibrahim  memanggil  para manusia  untuk  berhaji,  tempatnya siti Hajar berjuang mencari air   untuk Nabi Ismail sehingga terbentuknya  sumur zamzam yang merupakan air yang  sakral bagi jama'ah haji.  Singkatnya  tanah  Mekkah  dan  Madinah  merupakan  tanahnya  para  ambiya Allah  yang  tiap  tahun  dipenuhi  para  jama'ah dari berbagi penjuru dunia  ini.   Tentunya,   dalam  melaksanakan  i b a d a h   h a j i   p a r a   j ama ' a h   p e r l u   mempersiapkan  diri  dari  awal.  Siap  mental dan siap jiwa dan mempunyai niat  yang  ikhlas  bukan  dengan  untuk  niat  y a n g   l a i n .   Pe r a n a n   n i a t   s a n g a t   menentukan  diterima  tidaknya  hasil  aktivitas  atau  amalan manusia. Apabila  niatnya  tidak  benar  dan  tidak  pas maka  akan  tertolak  semua  amalan  yang  telah  kita  upayakan.  Kemurnian  niat  perlu  menjadi  perhatian  kita  agar  supaya  ibadah dan amalan kita bukan ibadah dan  amalan  yang  t idak  mendatangkan  m a n f a a t   a t a u   y a n g   s i a - s i a .  

Yang lebih penting lagi bagi jama'ah  haji  adalah  kesiapan  diri  menyandang  gelar haji  setelah melaksanakannya yang  bagi  sebagian  orang menjadi  tugas  berat  karena  sikap  dan  pribadinya  juga  harus  berubah  sesuai   dengan  gelar  yang  disandangnya.  Pergi  haji  juga  bukan  tamasya  atau  bermain-main  walapun  memang  ada  bagi   sebagian  orang  dijadikan  sebagai  pelancongannya  ke  negeri  Arab  tersebut  sehingga  ketika  si  pelaksananya  pulang  dan  bal ik  ke  negerinya tidak ada sesuatu kenangan dan  faedah apa – apa baginya.  Sesuatu  perbuatan  yang  baik  juga  harus  diniatkan  dengan  baik  pula  dan  harus  diperhitungkan  matang-matang,  jangan  sampai  berhaji  hanya  menjadi  pegangan  supaya  orang  memanggilnya  Tengku  Haj i   atau  berbagai   gelar   kemuliaan  lainnya. Semoga para  jama'ah  haji  kita  menjadi  para  jama'ah  yang  mempunyai niat yang ikhlas dan menjadi  haji  yang  mabrur.  Dan  bagi  kita  yang  belum ada kesempatan Insya Allah punya  niat   yang  ikhlas  juga  agar   Al lah  memberikan  kita  kesempatan  kelak.  Amin. (Abrar, S.Pd)