Karakteristik Pendidikan Alternatif (3)
Berbicara tentang sekolah ideal
dan sekolah sebenarnya di lapangan,
Mangunwijaya membuat perbandingan
antara keduanya. Menurutnya, di sekolah
ideal: “Guru adalah bapak, ibu, abang,
kakak, sahabat; Murid adalah anak,
Dialog, pemahaman, Cara Belajar Siswa
Aktif, bersuasana keluarga; Solidaritas
antara para murid, antara yang cerdas dan
yang lambat; dan Yang diabdi: nomor satu
kepentingan dan pemekaran pribadi si
anak.”
Sementara dalam realitanya, di
sekolah: “Guru adalah komandan, birokrat,
instruktor, pawang; Murid adalah kader
politik kecil, calon Sumber Daya Manusia;
Hafalan, penataran, indoktrinasi;
Persaingan untuk mencari kejuaraan; dan
nomor satu kepentingan industri, bisnis,
pemerintah, gengsi orang tua, kepentingan
masyarakat saja tanpa menghargai
kebutuhan anak” (Sebagaimana dikutip
oleh Pradipto, 2007, pp. 61-62).
K a r a k t e r i s t i k y a n g t e l a h
disebutkan diatas dan dua tulisan
sebelumnya merupakan penentu apakah
sebuah sekolah bisa dikatakan kaya atau
pun miskin. Wahyono (2010) membuat
delapan syarat supaya sebuah sekolah bisa
dikatakan kaya, yaitu: “Sumber daya
manusia yang mumpuni; Sumber daya
keuangan yang cukup; Fasilitas belajar
dan peralatan praktik memadai; Strategi
yang jitu; Teknik marketing yang baik;
Sistem pendokumentasian yang bagus;
Sistem informasi dan komunikasi yang
efektif; dan Mau berbagi kesuksesan” (h.
3).
Sebaliknya, menurut Wahyuno, sebuah
sekolah dikatakan miskin apabila
mempunyai delapan ciri, yaitu: “Sumber
daya manusia yang tidak kompeten dan
berkinerja buruk; Tidak memiliki cukup
dana untuk membayar gaji guru dan biaya
operasional; Tidak memiliki gedung dan
jaminan tempat belajar; Tidak punya
strategi; Proses pembelajaran dan
palayanan yang buruk; Tidak memiliki
catatan kemajuan dan prestasi; Informasi
dan komunikasi tidak mendukung kinerja;
dan Tidak mau belajar dan berinovasi” (h.
12).
Lebih lanjut, karakteristik sekolah
sebenarnya ditentukan oleh karakteristik
masyarakat setempat. Freire (1994)
menggambarkan karakter pendidikan
berikut ini sebagai potret dari masyarakat
yang tertindas atau terabaikan: “Guru
mengajar dan murid diajar; guru tahu semua
hal dan murid tidak tahu apa-apa; guru
berpikir dan murid memikirkannya; guru
berbicara dan murid mendengarkan dengan
tenang; guru disiplin dan murid
didisiplinkan; guru menetapkan pilihannya
dan murid menjalankannya; guru bertindak
dan murid meraba-raba berdasarkan
tindakan guru; guru memilih materi
pelajaran dan murid menerimanya; guru
membuat buram ilmu pengetahuan dengan
kekuasaannya dalam hal membatasi
kebebasan murid; guru adalah subjek utama
dalam pembelajaran dan murid hanya
sekedar objek” (h. 54).
Kalau dibandingkan di Indonesia, menurut
Yulaelawati (2009) sebenarnya pendidikan
sekolah dan luar sekolah itu berjalan seiring,
saling mendukung satu sama lain.