Filosofi dan Prinsip Dasar Pendidikan
Alternatif
Filosofi dan prinsip dasar yang bagus
sangatlah diperlukan dalam pendidikan.
Winarno Surakhmad dalam Falsafah
Pendidikan: Yang Diperlukan, Yang
Terbuang mengkritik mereka yang
berpandangan bahwa filosofi pendidikan
tidak diperlukan lagi. Sebagian orang
berpendapat bahwa kebanyakan masalah
pendidikan ada pada aspek teknisnya.
Sementara yang lain berpegang bahwa
p e n d i d i k a n h a r u s l a h p ra k t i s d a n
berorientasi masa depan. Kebanyakan
orang melihat pendidikan sebagai sebuah
persiapan untuk lapangan kerja dan
industri sehingga pendidikan itu harus
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
tersebut.
Dalam kenyataannya, pendidikan tidak
lah dapat dikembangkan tanpa adanya
filosofi (Ronisef et al., 2003). Oleh karena
itu, paradigma pendidikan di Indonesia
khususnya sebagaimana didesain oleh
Kementerian Pendidikan Nasional
berbentuk: (1) “Pemberdayaan manusia
seutuhnya, (2) Pembelajaran sepanjang
hayat berpusat pada peserta didik, (3)
Pendidikan untuk semua, dan (4)
Pendidikan untuk perkembangan,
pengembangan, dan/atau pembangunan
berkelanjutan (PuP3B).
Pada akhirnya,
sebagaimana Cuéllar-Marchelli (2003)
indikasikan, “tidak akan pernah ada
ke b i j a k a n ya n g s e m p u r n a u n t u k
m e m e c a h k a n s e m u a k e l e m a h a n -
kelemahan dalam system pendidikan;
namun ahli pendidikan dan penentu
kebijakan harus selalu berupaya untuk
mengkaji ulang praktek-praktek pendidikan
yang ada serta memperbaikinya” (p. 164).
Kita selalu bisa belajar dari masa lalu
(Alexander, 2010) dan dari beragam model
pendidikan (Gordon & Gordon, 1990)
dengan mengikuti agenda demokratis atau
kesamaan umum (Clausen, 2010). Ottawa
Alternative Schools, sebagai contoh,
mempunyai filosofi sebagai berikut:
“Kerjasama dan kerja tim; Sebuah
komitmen menuju pendekatan yang
inovatif; Sebuah keseimbangan antara
pembelajaran siswa aktif dan guru aktif;
Kelompok belajar yang bervariasi umurnya;
Sebuah kurikulum terpadu; Sebuah
lingkungan sekolah berorientasi keluarga;
serta pendataan dan evaluasi yang
berkesinambungan (LeGrand, 2011, h.
101-102).
Kunci utama dari pembelajaran
adalah untuk mendukung pertumbuhan
belajar anak (DeBlois & Place, 2007; Foley
& Pang, 2005) dengan cara menjaga agar
mereka senantiasa terlibat aktif (Peled &
S m i t h , 2 0 1 0 ) , d a n d e n g a n c a ra
memberikan mereka kesempatan kedua
(McKee & Conner, 2007) karena mereka
mempunyai banyak tantangan atau
kendala seperti, “stress akibat rumah dan
keluarga, kemiskinan dan kelaparan,
kesehatan mental, penggunaan obat
terlarang, kekerasan seksual, kehamilan
diluar nikah dan kurangnya bimbingan
orang tua” (Peled & Smith, 2010, h. 59).
Lebih lanjut, penekanan nilai pada
pendidikan alternatif agak berbeda dari
pendidikan biasa (Manthey, 2006).
Biasanya nilai ini ditekankan pada empat
aspek, yaitu: 1) berjiwa kemasyarakatan,
2) menghormati keingintahuan anak, 3)
melibatkan pembelajaran atau sosial dasar
( H o y & M i s k e l , 2 0 0 8 ) , d a n 4 )
k e p e m i m p i n a n . P e r t a m a , d a l a m
menumbuhkan jiwa kemasyarakatan,
sebuah sekolah yang efektif, paling kurang
mempunyai komite sekolah dan persatuan
para orang tua/wali (Suparlan, 2008).
Pendidikan, pada kenyataannya, adalah
“telah terstruktur seputar prinsip 'pasar'
dan kemajuannya” dalam sebuah
masyarakat (De Coster et al., 2009, h. 652).
Kedua, Holt (1970) menyatakan bahwa
“sekolah kebanyakan menghancurkan rasa
keingintahuan anak, rasa percaya diri,
kepercayaan, dan juga kepintaran mereka”
(h. 53).
K e t i g a , d a l a m m e l i b a t k a n
pembelajaran anak, Braskamp, Trautvetter,
and Ward (2006) menyimpulkan tiga
karakteristik dalam pengembangan anak
secara menyeluruh: “mission is reality, not
rhetoric (pemberian tugas adalah
berdasarkan kenyataan, bukan retoris),
learning and development are integrated
(pembelajaran dan pengembangan adalah
satu), dan the campus community fosters
support and challenge (komunitas sekolah
menanamkan dukungan dan tantangan)”
(h. 193). Keempat, di era penjajahan, Ki
Hajar Dewantara dengan Sekolah Taman
Siswa-nya, dikenal sebagai Bapak
Pendidikan Nasional, telah berjuang untuk
menghilangkan jurang pemisah antara
m a s ya ra k a t d a n p e l a j a r d e n g a n
menerapkan tiga metode kepemimpinan,
yaitu: “Ingarsa Sung Tulada” (mampu
memberi teladan), “Ingmadya Mangun
Karsa” (mampu memberi motivasi), dan
“Tut Wuri Handayani” (mampu memberi
dorongan) (Wahyudi, 2007, h. 34).
Pada akhirnya, Groves (2008)
menyarankan 7 kunci utama untuk
keberhasilan membangun sebuah sekolah,
yaitu: “set the controls for the heart of the
sun, grow trust like there is a tomorrow,
leadership is all – and for all, strictly go
dancing, get real about learning, be a place
to be, and get people using the escalators
not the staircase” (h. 177-182). Jadi
sebenarnya apa yang harus diperhatikan
tentang system pendidikan? Martin
Chilcott, seorang CEO Place Group,
mengutip tentang system pendidikan:
Why do I get taught at the speed of
other pupils (Mengapa saya harus diajar
dengan kemampuan belajar siswa lain)?
Why do I take exams in the summer
(mengapa saya harus mengikuti ujian di
musim panas)? Why am I forced to fail
exams this year when I could pass them
next (mengapa saya dipaksa gagal ujian
tahun ini ketika saya merasa bisa berhasil
tahun depan)? Why do I learn a foreign
language alongside others who can't speak
it (mengapa saya belajar bahasa asing
dengan orang-orang yang tidak menguasai
bahasa tersebut)? Why do I have to watch a
teacher struggle to use yesterday's
technology (mengapa saya harus melihat
guru berjuang menggunakan teknologi
yang sudah usang)? Why do I have to
memorize stuff I can look up on my mobile
phone (mengapa saya harus menghafal hal
yang bisa saya dapatkan di telepon
genggam)? Why is there only one time table
where there are millions of individually
customized Yahoos! (mengapa hanya ada
satu model waktu saja sementara jutaan
model Yahoo! personal)? Why are there so
few subjects when I have hundreds of TV
channels (mengapa hanya ada sedikit
pelajaran sementara saya punya ratusan
siaran TV)? Why am I taught separate
subjects when life is integrated (mengapa
saya diajarkan pelajaran secara terpisahpisah
padahal hidup adalah sebuah
kesatuan)? Why do I have to write at school
when everyone types in life (mengapa saya
harus menulis di sekolah padahal setiap
orang mengetik dalam kehidupan seharihari)?
Why do I have to accept a bad
teacher when I never accept a bad burger
(mengapa saya harus menerima seorang
guru yang tidak baik padahal saya tidak
pernah menerima burger/makanan yang
tidak baik)? Why is school analogue and
grey when life is digital and Technicolor
(mengapa sekolah itu analog dan abu-abu
padahal hidup itu digital dan banyak
warna)? (Sebagaimana dikutip oleh Groves,
2008, h. 13)
Sinyeu (April 22, 2012/10:15 a.m.)