Rabu, 16 Mei 2012

Menuju Ke Arah Pengembangan Pendidikan Alternatif (Bagian Kedelapan) Oleh: Ahmad Faizuddin, M.Ed

Filosofi dan Prinsip Dasar Pendidikan Alternatif 
Filosofi dan prinsip dasar yang bagus sangatlah diperlukan dalam pendidikan. Winarno Surakhmad dalam Falsafah Pendidikan: Yang Diperlukan, Yang Terbuang mengkritik mereka yang berpandangan bahwa filosofi pendidikan tidak diperlukan lagi. Sebagian orang berpendapat bahwa kebanyakan masalah pendidikan ada pada aspek teknisnya. Sementara yang lain berpegang bahwa p e n d i d i k a n h a r u s l a h p ra k t i s d a n berorientasi masa depan. Kebanyakan orang melihat pendidikan sebagai sebuah persiapan untuk lapangan kerja dan industri sehingga pendidikan itu harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Dalam kenyataannya, pendidikan tidak lah dapat dikembangkan tanpa adanya filosofi (Ronisef et al., 2003). Oleh karena itu, paradigma pendidikan di Indonesia khususnya sebagaimana didesain oleh Kementerian Pendidikan Nasional berbentuk: (1) “Pemberdayaan manusia seutuhnya, (2) Pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik, (3) Pendidikan untuk semua, dan (4) Pendidikan untuk perkembangan, pengembangan, dan/atau pembangunan berkelanjutan (PuP3B). 

Pada akhirnya, sebagaimana Cuéllar-Marchelli (2003) indikasikan, “tidak akan pernah ada ke b i j a k a n ya n g s e m p u r n a u n t u k m e m e c a h k a n s e m u a k e l e m a h a n - kelemahan dalam system pendidikan; namun ahli pendidikan dan penentu kebijakan harus selalu berupaya untuk mengkaji ulang praktek-praktek pendidikan yang ada serta memperbaikinya” (p. 164). Kita selalu bisa belajar dari masa lalu (Alexander, 2010) dan dari beragam model pendidikan (Gordon & Gordon, 1990) dengan mengikuti agenda demokratis atau kesamaan umum (Clausen, 2010). Ottawa Alternative Schools, sebagai contoh, mempunyai filosofi sebagai berikut: “Kerjasama dan kerja tim; Sebuah komitmen menuju pendekatan yang inovatif; Sebuah keseimbangan antara pembelajaran siswa aktif dan guru aktif; Kelompok belajar yang bervariasi umurnya; Sebuah kurikulum terpadu; Sebuah lingkungan sekolah berorientasi keluarga; serta pendataan dan evaluasi yang berkesinambungan (LeGrand, 2011, h. 101-102). 

Kunci utama dari pembelajaran adalah untuk mendukung pertumbuhan belajar anak (DeBlois & Place, 2007; Foley & Pang, 2005) dengan cara menjaga agar mereka senantiasa terlibat aktif (Peled & S m i t h , 2 0 1 0 ) , d a n d e n g a n c a ra memberikan mereka kesempatan kedua (McKee & Conner, 2007) karena mereka mempunyai banyak tantangan atau kendala seperti, “stress akibat rumah dan keluarga, kemiskinan dan kelaparan, kesehatan mental, penggunaan obat terlarang, kekerasan seksual, kehamilan diluar nikah dan kurangnya bimbingan orang tua” (Peled & Smith, 2010, h. 59). Lebih lanjut, penekanan nilai pada pendidikan alternatif agak berbeda dari pendidikan biasa (Manthey, 2006). Biasanya nilai ini ditekankan pada empat aspek, yaitu: 1) berjiwa kemasyarakatan, 2) menghormati keingintahuan anak, 3) melibatkan pembelajaran atau sosial dasar ( H o y & M i s k e l , 2 0 0 8 ) , d a n 4 ) k e p e m i m p i n a n . P e r t a m a , d a l a m menumbuhkan jiwa kemasyarakatan, sebuah sekolah yang efektif, paling kurang mempunyai komite sekolah dan persatuan para orang tua/wali (Suparlan, 2008). Pendidikan, pada kenyataannya, adalah “telah terstruktur seputar prinsip 'pasar' dan kemajuannya” dalam sebuah masyarakat (De Coster et al., 2009, h. 652). Kedua, Holt (1970) menyatakan bahwa “sekolah kebanyakan menghancurkan rasa keingintahuan anak, rasa percaya diri, kepercayaan, dan juga kepintaran mereka” (h. 53). K e t i g a , d a l a m m e l i b a t k a n pembelajaran anak, Braskamp, Trautvetter, and Ward (2006) menyimpulkan tiga karakteristik dalam pengembangan anak secara menyeluruh: “mission is reality, not rhetoric (pemberian tugas adalah berdasarkan kenyataan, bukan retoris), learning and development are integrated (pembelajaran dan pengembangan adalah satu), dan the campus community fosters support and challenge (komunitas sekolah menanamkan dukungan dan tantangan)” (h. 193). Keempat, di era penjajahan, Ki Hajar Dewantara dengan Sekolah Taman Siswa-nya, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, telah berjuang untuk menghilangkan jurang pemisah antara m a s ya ra k a t d a n p e l a j a r d e n g a n menerapkan tiga metode kepemimpinan, yaitu: “Ingarsa Sung Tulada” (mampu memberi teladan), “Ingmadya Mangun Karsa” (mampu memberi motivasi), dan “Tut Wuri Handayani” (mampu memberi dorongan) (Wahyudi, 2007, h. 34). 

Pada akhirnya, Groves (2008) menyarankan 7 kunci utama untuk keberhasilan membangun sebuah sekolah, yaitu: “set the controls for the heart of the sun, grow trust like there is a tomorrow, leadership is all – and for all, strictly go dancing, get real about learning, be a place to be, and get people using the escalators not the staircase” (h. 177-182). Jadi sebenarnya apa yang harus diperhatikan tentang system pendidikan? Martin Chilcott, seorang CEO Place Group, mengutip tentang system pendidikan: Why do I get taught at the speed of other pupils (Mengapa saya harus diajar dengan kemampuan belajar siswa lain)? Why do I take exams in the summer (mengapa saya harus mengikuti ujian di musim panas)? Why am I forced to fail exams this year when I could pass them next (mengapa saya dipaksa gagal ujian tahun ini ketika saya merasa bisa berhasil tahun depan)? Why do I learn a foreign language alongside others who can't speak it (mengapa saya belajar bahasa asing dengan orang-orang yang tidak menguasai bahasa tersebut)? Why do I have to watch a teacher struggle to use yesterday's technology (mengapa saya harus melihat guru berjuang menggunakan teknologi yang sudah usang)? Why do I have to memorize stuff I can look up on my mobile phone (mengapa saya harus menghafal hal yang bisa saya dapatkan di telepon genggam)? Why is there only one time table where there are millions of individually customized Yahoos! (mengapa hanya ada satu model waktu saja sementara jutaan model Yahoo! personal)? Why are there so few subjects when I have hundreds of TV channels (mengapa hanya ada sedikit pelajaran sementara saya punya ratusan siaran TV)? Why am I taught separate subjects when life is integrated (mengapa saya diajarkan pelajaran secara terpisahpisah padahal hidup adalah sebuah kesatuan)? Why do I have to write at school when everyone types in life (mengapa saya harus menulis di sekolah padahal setiap orang mengetik dalam kehidupan seharihari)? Why do I have to accept a bad teacher when I never accept a bad burger (mengapa saya harus menerima seorang guru yang tidak baik padahal saya tidak pernah menerima burger/makanan yang tidak baik)? Why is school analogue and grey when life is digital and Technicolor (mengapa sekolah itu analog dan abu-abu padahal hidup itu digital dan banyak warna)? (Sebagaimana dikutip oleh Groves, 2008, h. 13) Sinyeu (April 22, 2012/10:15 a.m.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar