Jumat, 13 Juli 2012

Menuju Ke Arah Pengembangan Pendidikan Alternatif (Bagian Kesebelas) Oleh: Ahmad Faizuddin, M.Ed

                    Mengapa Pendidikan Alternatif ?(1) Masalah-masalah yang muncul d a l a m d u n i a p e n d i d i k a n menyebabkan lahirnya ide-ide untuk mencari alternatif-alternatif baru. D i a n t a r a m a s a l a h - m a s a l a h pendidikan di Indonesia adalah menyangkut dengan efektifitas pendidikan dimana kualitas para p e l a j a r k i t a l e b i h r e n d a h dibandingkan dengan Negaranegara lain (Mutrofin, 2009; Komunitas Sekolah Alam, 2005), kesempatan mengecap pendidikan yang terbatas disebabkan oleh system desentralisasi (Mutrofin, 2009; Tilaar, 1998; Rohman, 2009; Mutrofin, 2007; Badrun & Bastian, 1999; Mastuhu, 2007; Sukarno, Handayani & Soewaytoyo, 2007; S u h a r d a n , 2 0 1 0 ) , r e l e f a n s i pendidikan dimana lapanganlapangan pekerjaan sangat terbatas sementara buruh-buruh yang berkompeten membludak (Mutrofin, 2009; Tilaar, 2000; Nandika, 2007; Mutrofin, 2007; Djaafar, 2001; Sumardi, 2005), birokrasi pendidikan yang menciptakan kesenjangan antara pelajar yang kaya dan miskin (Mutrofin, 2009; Martono, 2010; Mu'arif, 2005; Wiratno, 2007; Wahyudi, 2007), terperangkapnya m a s y a r a k a t d a l a m j e r a t a n “knowledge of expert / ilmu (dari) orang pandai (saja)” (Mastuhu, 2007; Tilaar, 1998), tantangan pelajarpelajar yang kurang beruntung (Mukhtar, Samsu & Rusmini, 2002; Djohar, 2006), dan tidak adanya komitmen yang kuat (Mu'arif, 2005; Sholeh, 2007; Suhardan, 2010). David Thornburg mengatakan, “Our educational system is running like a fine Swiss watch. The problem is that there is very little market today for fine Swiss watches / Sistem pendidikan kita itu berjalan seperti sebuah jam tangan merek Swiss yang bagus. Masalahnya adalah sekarang sangat terbatas pasar untuk jam tangan-jam tangan Swiss ini” (sebagaimana di kutip oleh Bestwick & Campbell, 2010, h. 18). 

                    Oleh karena itu, “being effective often isn't good enough / menjadi efektif itu terkadang tidak cukup baik” (Thurston, 2009, h. 62) Orang tua akan memilih alternatif-alternatif lain seperti sekolah rumah atau homeschooling ketika sekolah tidak mampu menyediakan kebutuhan anak-anak mereka (Winstanley, 2009; Owens & Konkol, 2004; Zhang & Wu, 2009), karena mempunyai atmosfir belajar yang beragam (Rydeen, 2008; Kennedy, 2005), strategi yang disesuaikan dan berbeda-beda (Gates & Stuht, 2006), seperti system pendidikan berupa pemecahan-masalah (Brown & Brown, 2005). Salah satu pengaruh yang paling besar terhadap kemampuan seorang anak adalah dari lingkungan sekitarnya. Pengaruh sosial punya dampak yang besar terhadap putusnya sekolah seorang anak (Mottaz, 2002; Rohman, 2009; Melrose, 2006) serta kualitas nilai ujian akademiknya (Lesch, 2009; Zhao, 2009, Cheyney, 1976; Martono, 2010; Williams, 2003). Metz dalam bukunya Real School: A Universal Drama Amid Disparate Experience, sebagai contoh, menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara status sosial ekonomi masyarakat dengan “peringkat, nilai tes standar nasional, angka putus sekolah, dan angka melanjutkan kuliah” seorang pelajar (sebagaimana dikutip oleh Ballantine & Spade, 2001, h. 142). Selanjutnya masalah pelajar yang miskin juga mempunyai dampak besar terhadap para guru serta orang tua (Cheyney, 1976, h. 19). Menurut Bullough, Jr. (2001) “Millions of children are hungry or poorly fed; and often they eat their best meals at school / jutaan anak-anak kelaparan atau mendapatkan makanan yang tidak layak; dan seringnya justru mereka mendapatkan makanan yang enak-enak ketika berada di sekolah” (h. 11). M a k a m e n g k a j i u l a n g paradigma berpikir kita menjadi s e b u a h l a n g k a h y a n g p a t u t dipertimbangkan untuk mengawali peningkatan mutu (Covey, 1998; Brown & Beckett, 2007; Haugen & Musser, 2009; Dennison, 1969; Ozmon, 1970; Soong, 2005; Shor, 1992) dengan cara menjembatani pendidikan untuk semua orang (Faure, 1972) dan bertoleransi terhadap kegagalan (Pora, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar