Mengapa Pendidikan Alternatif ?(1)
Masalah-masalah yang muncul
d a l a m d u n i a p e n d i d i k a n
menyebabkan lahirnya ide-ide untuk
mencari alternatif-alternatif baru.
D i a n t a r a m a s a l a h - m a s a l a h
pendidikan di Indonesia adalah
menyangkut dengan efektifitas
pendidikan dimana kualitas para
p e l a j a r k i t a l e b i h r e n d a h
dibandingkan dengan Negaranegara
lain (Mutrofin, 2009;
Komunitas Sekolah Alam, 2005),
kesempatan mengecap pendidikan
yang terbatas disebabkan oleh
system desentralisasi (Mutrofin,
2009; Tilaar, 1998; Rohman, 2009;
Mutrofin, 2007; Badrun & Bastian,
1999; Mastuhu, 2007; Sukarno,
Handayani & Soewaytoyo, 2007;
S u h a r d a n , 2 0 1 0 ) , r e l e f a n s i
pendidikan dimana lapanganlapangan
pekerjaan sangat terbatas
sementara buruh-buruh yang
berkompeten membludak (Mutrofin,
2009; Tilaar, 2000; Nandika, 2007;
Mutrofin, 2007; Djaafar, 2001;
Sumardi, 2005), birokrasi pendidikan
yang menciptakan kesenjangan
antara pelajar yang kaya dan miskin
(Mutrofin, 2009; Martono, 2010;
Mu'arif, 2005; Wiratno, 2007;
Wahyudi, 2007), terperangkapnya
m a s y a r a k a t d a l a m j e r a t a n
“knowledge of expert / ilmu (dari)
orang pandai (saja)” (Mastuhu, 2007;
Tilaar, 1998), tantangan pelajarpelajar
yang kurang beruntung
(Mukhtar, Samsu & Rusmini, 2002;
Djohar, 2006), dan tidak adanya
komitmen yang kuat (Mu'arif, 2005;
Sholeh, 2007; Suhardan, 2010).
David Thornburg mengatakan,
“Our educational system is running
like a fine Swiss watch. The problem
is that there is very little market today
for fine Swiss watches / Sistem
pendidikan kita itu berjalan seperti
sebuah jam tangan merek Swiss
yang bagus. Masalahnya adalah
sekarang sangat terbatas pasar
untuk jam tangan-jam tangan Swiss
ini” (sebagaimana di kutip oleh
Bestwick & Campbell, 2010, h. 18).
Oleh karena itu, “being effective often
isn't good enough / menjadi efektif itu
terkadang tidak cukup baik”
(Thurston, 2009, h. 62)
Orang tua akan memilih
alternatif-alternatif lain seperti sekolah
rumah atau homeschooling ketika
sekolah tidak mampu menyediakan
kebutuhan anak-anak mereka
(Winstanley, 2009; Owens & Konkol,
2004; Zhang & Wu, 2009), karena
mempunyai atmosfir belajar yang
beragam (Rydeen, 2008; Kennedy,
2005), strategi yang disesuaikan dan
berbeda-beda (Gates & Stuht, 2006),
seperti system pendidikan berupa
pemecahan-masalah (Brown &
Brown, 2005).
Salah satu pengaruh yang
paling besar terhadap kemampuan
seorang anak adalah dari lingkungan
sekitarnya. Pengaruh sosial punya
dampak yang besar terhadap
putusnya sekolah seorang anak
(Mottaz, 2002; Rohman, 2009;
Melrose, 2006) serta kualitas nilai
ujian akademiknya (Lesch, 2009;
Zhao, 2009, Cheyney, 1976; Martono,
2010; Williams, 2003). Metz dalam
bukunya Real School: A Universal
Drama Amid Disparate Experience,
sebagai contoh, menggambarkan
betapa dekatnya hubungan antara
status sosial ekonomi masyarakat
dengan “peringkat, nilai tes standar
nasional, angka putus sekolah, dan
angka melanjutkan kuliah” seorang
pelajar (sebagaimana dikutip oleh
Ballantine & Spade, 2001, h. 142).
Selanjutnya masalah pelajar
yang miskin juga mempunyai dampak
besar terhadap para guru serta orang
tua (Cheyney, 1976, h. 19). Menurut
Bullough, Jr. (2001) “Millions of
children are hungry or poorly fed; and
often they eat their best meals at
school / jutaan anak-anak kelaparan
atau mendapatkan makanan yang
tidak layak; dan seringnya justru
mereka mendapatkan makanan yang
enak-enak ketika berada di sekolah”
(h. 11).
M a k a m e n g k a j i u l a n g
paradigma berpikir kita menjadi
s e b u a h l a n g k a h y a n g p a t u t
dipertimbangkan untuk mengawali
peningkatan mutu (Covey, 1998;
Brown & Beckett, 2007; Haugen &
Musser, 2009; Dennison, 1969;
Ozmon, 1970; Soong, 2005; Shor,
1992) dengan cara menjembatani
pendidikan untuk semua orang
(Faure, 1972) dan bertoleransi
terhadap kegagalan (Pora, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar