Selasa, 21 Februari 2012

Menuju Ke Arah Pengembangan Pendidikan Alternatif (Bagian Keenam) Oleh: Ahmad Faizuddin, M.Ed

Karakteristik Pendidikan Alternatif (2) Dalam tulisan sebelumnya Penulis telah memaparkan sedikit tentang karakteristik pendidikan alternatif. Karakteristik tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan kualitas pendidikan. Schussler & Collins (2006) setuju bahwa “perhatian” merupakan kualitas paling penting di sekolah. Lebih lanjut, “(kuantitas) kecil, kebebasan, dan pilihan” biasanya adalah tiga kualitas umum yang harus ada dalam kesuksesan sebuah usaha reformasi sekolah (h. 291). Namun demikian, meski setiap pendidikan alternatif di desain menurut kebutuhan masyarakat, kebanyakan alternatif ini mempunyai karakteristik yang sama sebagaimana Conley (2002) jelaskan, yaitu: 1.Sekolah alternatif memberikan sebuah pilihan kepada pelajar, orang tua, dan guru – yaitu pilihan yang terbuka untuk semua masyarakat sehingga punya rasa sukarela. Sejalan dengan itu, jumlah populasi dari sekolah ini haruslah mewakili sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. 2.Sekolah alternatif mempunyai sebuah komitmen lebih bertanggungjawab untuk kebutuhan pendidikan khusus dalam masyarakat dibandingkan sekolah biasa. 3.Sekolah alternatif biasanya mempunyai tujuan dan arah yang lebih luas daripada sekolah biasa. Contohnya, disamping tambahan mengembangkan kemampuan dasar dan mempersiapkan pelajar untuk perguruan tinggi atau kejuruan, sekolah alternatif juga berupaya untuk meningkatkan konsep diri pelajar, mengembangkan bakat dan kelebihan pelajar, pemahaman dan motivasi k e r a g a m a n b u d a y a , s e r t a mempersiapkan pelajaran untuk menjalani berbagai peran dalam masyarakat. 4.Sekolah alternatif lebih fleksibel dibandingkan sekolah biasa, oleh karena i t u b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k merencanakan perubahan. Karena dikembangkan di era akuntabilitas (the age of accountability), kurikulum dirancang dan dimodifikasi berdasarkan umpan balik (feedback) dan evaluasi formatif (formative evaluation). 5.Sekolah alternatif biasanya lebih kecil dari sekolah umum. Rata-rata pendaftaran di sekolah alternatif publik menengah atas adalah dibawah angka 200. Karena sekolah ini kecil, maka aturan dan tekanan birokrasi terhadap pelajar dan pengajar dapat diminimalisir. (h.2) Berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan di atas, apa sebenarnya perbedaan pendidikan biasa dan pendidikan alternatif? Fantini (1976) membuat daftar perbedaan gaya mengajar pendidikan formal dan informal sebagai berikut: Dalam pendidikan biasa, lingkungan dan interaksi manusia bersifat formal, waktu dan aktivitas diaturoleh guru, guru juga mengatur kurikulum dan menyediakan sumber pembelajaran, gaya dan tatanan kelas mengikuti pola standard, berorientasi pada aktivitas keseluruhan kelas, pelajar dan pengunjung dipisahkan, guru lebih\ berkuasa dari pelajar, kurikulum dibuat sesuai dengan Rencana Ajar guru, lebih banyak memakai buku teks pelajaran, kontrol guru secara disiplin, membedakan antara bekerja dan bermain, belajar apa yang diajarkan guru, dikelompokkan dengan umur yang sama, guru yang menentukan siapa yang melakukan sesuatu dan kapan harus dilakukan, pendidikan anak adalah tanggungjawab guru, m e n e k a n k a n p e n g e m b a n g a n intelektualitas anak saja, dan evaluasi akhir untuk mengklasifikasi anak. Semantara dalam pendidikan terbuka lingkungan dan interaksi manusia bersifat informal, pelajar bebas mengatur kegiatannya, guru hanyamengatur proses belajar dan memberikan bimbingan serta memfasilitasi pembelajaran, gaya dan tatanan kelas mengikuti pola workshop pelajar, berorientasi pada aktivitas individu dan grup kecil, pelajar dan pengunjung disatukan, guru dan murid berinteraksi secara individu, kurikulum dibuat untuk m e m e n u h i d a y a t a r i k p e l a j a r , mementingkan bahan konkrit dalam belajar, guru hanya sebagai fasilitator, tidak membedakan antara bekerja dan bermain, belajar dengan mencari sendiri, dicampur dengan umur yang berbeda, guru dan pelajar menentukan gaya belajar dalam satu hari, pendidikan anak adalah tanggungjawab anak itu sendiri, menekankan pada afektif emosional serta kemampuan kognitif intelektual anak, dan evaluasi akhir untuk mendiagnosa (kebutuhan) anak (Fantini, 1976, h. 110- 111). (Bersambung pada edisi selanjutnya) 
Sinyeu (Feb 8, 2012/7:58 a.m.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar