Jumat, 27 April 2012

Menuju Ke Arah Pengembangan Pendidikan Alternatif (Bagian Ketujuh) Oleh: Ahmad Faizuddin, M.Ed

Karakteristik Pendidikan Alternatif (3) Berbicara tentang sekolah ideal dan sekolah sebenarnya di lapangan, Mangunwijaya membuat perbandingan antara keduanya. Menurutnya, di sekolah ideal: “Guru adalah bapak, ibu, abang, kakak, sahabat; Murid adalah anak, Dialog, pemahaman, Cara Belajar Siswa Aktif, bersuasana keluarga; Solidaritas antara para murid, antara yang cerdas dan yang lambat; dan Yang diabdi: nomor satu kepentingan dan pemekaran pribadi si anak.” Sementara dalam realitanya, di sekolah: “Guru adalah komandan, birokrat, instruktor, pawang; Murid adalah kader politik kecil, calon Sumber Daya Manusia; Hafalan, penataran, indoktrinasi; Persaingan untuk mencari kejuaraan; dan nomor satu kepentingan industri, bisnis, pemerintah, gengsi orang tua, kepentingan masyarakat saja tanpa menghargai kebutuhan anak” (Sebagaimana dikutip oleh Pradipto, 2007, pp. 61-62). 

K a r a k t e r i s t i k y a n g t e l a h disebutkan diatas dan dua tulisan sebelumnya merupakan penentu apakah sebuah sekolah bisa dikatakan kaya atau pun miskin. Wahyono (2010) membuat delapan syarat supaya sebuah sekolah bisa dikatakan kaya, yaitu: “Sumber daya manusia yang mumpuni; Sumber daya keuangan yang cukup; Fasilitas belajar dan peralatan praktik memadai; Strategi yang jitu; Teknik marketing yang baik; Sistem pendokumentasian yang bagus; Sistem informasi dan komunikasi yang efektif; dan Mau berbagi kesuksesan” (h. 3). Sebaliknya, menurut Wahyuno, sebuah sekolah dikatakan miskin apabila mempunyai delapan ciri, yaitu: “Sumber daya manusia yang tidak kompeten dan berkinerja buruk; Tidak memiliki cukup dana untuk membayar gaji guru dan biaya operasional; Tidak memiliki gedung dan jaminan tempat belajar; Tidak punya strategi; Proses pembelajaran dan palayanan yang buruk; Tidak memiliki catatan kemajuan dan prestasi; Informasi dan komunikasi tidak mendukung kinerja; dan Tidak mau belajar dan berinovasi” (h. 12). 

Lebih lanjut, karakteristik sekolah sebenarnya ditentukan oleh karakteristik masyarakat setempat. Freire (1994) menggambarkan karakter pendidikan berikut ini sebagai potret dari masyarakat yang tertindas atau terabaikan: “Guru mengajar dan murid diajar; guru tahu semua hal dan murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir dan murid memikirkannya; guru berbicara dan murid mendengarkan dengan tenang; guru disiplin dan murid didisiplinkan; guru menetapkan pilihannya dan murid menjalankannya; guru bertindak dan murid meraba-raba berdasarkan tindakan guru; guru memilih materi pelajaran dan murid menerimanya; guru membuat buram ilmu pengetahuan dengan kekuasaannya dalam hal membatasi kebebasan murid; guru adalah subjek utama dalam pembelajaran dan murid hanya sekedar objek” (h. 54). Kalau dibandingkan di Indonesia, menurut Yulaelawati (2009) sebenarnya pendidikan sekolah dan luar sekolah itu berjalan seiring, saling mendukung satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar